Selasa, 08 Februari 2011

Artikel pemerintah dan pelayanan publik


PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT 
UNTUK PENINGKATAN TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK
Studi Kasus UPIK di Pemkot Jogjakarta dan E-Procurement di Pemkot Surabaya

Wahyudi Kumorotomo

 Berbeda dengan penerapan teknologi informasi di kebanyakan organisasi
swasta yang sudah menggunakan konsep  e-commerce secara ekstensif, penerapan
konsep  e-government dalam organisasi publik di Indonesia masih tertinggal. Kendala
yang dihadapi dalam organisasi publik bukan semata-mata ketersediaan teknologi atau
dana, tetapi juga menyangkut berbagai persoalan politis dan manajerial yang sangat
banyak dan memerlukan upaya pemecahan masalah yang begitu kompleks. Komitmen
pimpinan organisasi dan lemahnya sumberdaya manusia, misalnya, merupakan dua
faktor penting yang sering menjadi kendala pengembangan  e-government. Tetapi di
dalam praktik, ada banyak masalah yang harus diselesaikan sebelum teknologi
informasi itu benar-benar dapat dimanfaatkan dalam organisasi publik.
Tulisan ini bermaksud menelaah praktik-praktik penerapan e-government dalam
organisasi Pemerintah Daerah dengan mengambil dua kasus, yaitu sistem tanggapan
atas keluhan publik yang diterapkan di Pemda kota Jogjakarta dan sistem pengadaan
barang dan jasa berbasis elektronik yang diterapkan di Pemda kota Surabaya. Kedua
kasus ini mungkin bukan merupakan kelompok  best practice dalam penerapan  e-
government di Indonesia, tetapi setidaknya telah mewakili upaya yang serius dari
kepemimpinan di daerah untuk memanfaatkan teknologi informasi secara optimal.
Manfaat penting yang dapat diperoleh dengan penerapan teknologi informasi adalah
meningkatnya transparansi pelayanan publik yang menunjang kepercayaan masyarakat
terhadap organisasi publik. Telaah dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai
persoalan politis, persoalan manajerial maupun teknis yang dihadapi untuk menerapkan
e-government dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. 

Pembahasan Teoretis tentang E-Government dan Transparansi Pelayanan Publik

  Diantara para pakar administrasi negara, sebenarnya belum terdapat
kesepakatan mengenai definisi  e-government. Selain karena konsep dan praktiknya
masih termasuk hal yang baru, belum banyak  penulis dari disiplin ilmu administrasi
negara yang mempunyai perhatian serius terhadap pengembangan e-government.
Berbeda dengan konsep e-commerce yang sudah banyak dibahas dan diaplikasikan
dalam dunia bisnis, konsep dan penerapan e-government di Indonesia relatif terlambat
perkembangannya. Salah satu definisi e-government dalam khazanah internasional
yang cukup banyak dirujuk adalah yang berasal dari publikasi Bank Dunia, yang
mendefinisikan e-government sebagai berikut:
E-government refers to the use by government agencies of information
technologies (such as Wide Area Network, the Internet, and mobile
computing) that have the ability to transform relations with citizens,
businesses, and other arms of government.
  Definisi sangat umum ini pada dasarnya merujuk penggunaan teknologi
informasi pada lembaga pemerintah atau lembaga publik. Tujuannya adalah agar
hubungan-hubungan tata-pemerintahan (governance) antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat dapat tercipta sedemikian rupa sehingga lebih efisien, efektif, dan produktif.
                                                
   Makalah disajikan pada Konferensi Administrasi Negara, Jogjakarta, 28 Juni 2008. Penulis adalah
dosen pada Jurusan Administrasi Negara, Fisipol, Universitas Gadjah Mada.
  1 Ketentuan bahwa yang terlibat di dalam e-government semestinya adalah semua
cabang pemerintahan (arms of government) mengandaikan bahwa e-government dapat
diterapkan di lembaga eksekutif, legislatif maupun judikatif. 
  Penggunaan teknologi informasi dalam organisasi publik bertujuan agar
efektivitas, efisiensi atau kinerja organisasi secara keseluruhan dapat ditingkatkan.
Betapapun teknologi informasi memang sangat menunjang untuk melakukan
pengolahan data, terutama data yang bersifat iteratif, rutin dan dapat diotomasikan
dengan menggunakan perangkat komputer. Dalam interaksi antara pemerintah dengan
swasta dan masyarakat sebagai pengguna layanan, teknologi informasi juga akan
membantu mengurangi biaya administrasi, relasi, dan interaksi untuk mekanisme
pelayanan publik sehari-hari. Tentu saja, peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan
sumber-sumber pendapatan baru dari interaksi tersebut, misalnya dalam pelayanan
perpajakan, akan sangat terbantu dengan digunakannya teknologi informasi. Yang tidak
kalah penting ialah bahwa e-government secara keseluruhan akan dapat meningkatkan
transparansi, kontrol dan akuntabilitas para penyelenggara pemerintahan serta
menciptakan lingkungan tata-pemerintahan baru yang mampu menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi sebagai akibat dari kecenderungan perubahan global.
Melalui e-government, masyarakat juga akan semakin mudah berinteraksi dengan
satuan-satuan dalam pemerintahan sehingga tercipta mekanisme kebijakan dan
pelayanan publik yang terbuka dan demokratis. Tampak bahwa konsep pengembangan
e-government sangat erat kaitannya dengan konsep keterbukaan atau transparansi. 
Sebelum membahas tentang hubungan antara e-government dengan
transparansi, perlu dijelaskan makna dari transparansi itu sendiri. Istilah transparansi
(transparency) yang banyak digunakan dalam diskusi dalam khazanah ilmu sosial-politik
sebenarnya diadopsi dari ilmu fisika. Sebuah objek disebut transparan apabila dari objek
tersebut seseorang dapat melihat atau mengamati benda atau objek lainnya. Pengertian
ini di dalam ilmu sosial-politik atau khususnya ilmu kebijakan publik kemudian berarti
bahwa masyarakat secara umum (civil society) dapat mengetahui atau memperoleh
akses terhadap semua informasi mengenai tindakan yang diambil oleh para perumus
kebijakan. Pelayanan publik disebut transparan apabila semua informasi yang relevan
tentang sistem, prosedur, mekanisme serta hak dan kewajiban yang menyangkut
pelayanan dapat diperoleh secara bebas dan wajar oleh semua orang. 
Pada umumnya transparansi menyangkut  masalah keterbukaan informasi,
sesuatu yang cenderung bersifat timpang di dalam masyarakat. Dalam hal ini informasi
itu sendiri dapat dirumuskan sebagai “resources of knowledge and competence that can
be used by individuals for enhancing their economic welfare, political power, or social
status” (Kristiansen, 2006). Di dalam masyarakat yang diperintah secara otoriter,
transparansi cenderung diabaikan atau dengan sengaja dihambat oleh pihak penguasa.
Indonesia yang baru saja terbebas dari cengkeraman rejim otoriter Orde Baru tentunya
masih harus belajar banyak untuk mengedepankan prinsip transparansi secara benar.
Betapapun, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ketimpangan informasi sebagai
sumberdaya yang sangat penting di abad-21 terkadang mengakibatkan ketimpangan
kemakmuran dan kesejahteraan dalam masyarakat. 
Kurangnya transparansi akan mengakibatkan ketimpangan informasi. Logika ini
juga didukung oleh teori-teori modern yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi.
Sebagai contoh, Joseph Stiglitz, seorang pakar pemenang hadiah Nobel ekonomi
pernah mengungkapkan bukti-bukti empiris bahwa peningkatan kemakmuran
masyarakat tidak hanya perlu ditunjang  oleh sumberdaya yang berupa modal dan teknologi, tetapi juga informasi. Menurut Stiglitz (2005), kerugian ekonomi (economic
losses) dalam masyarakat dapat disebabkan oleh informasi yang asimetris atau
informasi yang kurang sempurna. Dengan demikian, informasi semestinya juga harus
diperlakukan sama pentingnya dengan uang, aset, modal atau sumberdaya lainnya. 
Selanjutnya, dari aspek politik atau administratif, makna transparansi akan
menunjang empat hal yang mendasar (Kristiansen, 2006), yaitu: 1) meningkatnya
tanggungjawab para perumus kebijakan terhadap rakyat sehingga kontrol terhadap para
politisi dan birokrat akan berjalan lebih efektif; 2) memungkinkan berfungsinya sistem
kawal dan imbang (checks and balances) sehingga mencegah adanya monopoli
kekuasaan oleh para birokrat; 3) mengurangi banyaknya kasus korupsi; dan 4)
meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tampak bahwa salah
satu implikasi penting dari transparansi ialah peluang untuk meningkatkan efisiensi
dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di dalam praktik akan terlihat bahwa sistem dan
prosedur pelayanan publik yang transparan akan meningkatkan komitmen para birokrat
dan selanjutnya akan memperbaiki kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.
  Dalam perkembangan e-government di Indonesia, dukungan pemerintah
sebenarnya baru mulai tampak pada periode awal tahun 1990-an meskipun lembaga-
lembaga yang berkompeten bagi pengembangan sistem informasi dalam organisasi
publik sebenarnya sudah ada pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Terkait dengan
pengembangan e-government, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No.3 tahun 2003
mengenai Strategi Pengembangan E-government. Dalam peraturan ini strategi pokok
pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut:
1.  Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya serta terjangkau
oleh masyarakat luas
2.  Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah pusat dan pemerintah
daerah secara holistik
3.  Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal
4. Peningkatan peran-serta dunia usaha dan pengembangan industri
telekomunikasi dan teknologi informasi
5. Pengembangan sumberdaya manusia di pemerintahan dan peningkatan  e-
literacy masyarakat
6.  Pelaksanaan pengembangan secara sistematis melalui tahapan yang realistis
dan terukur.
Dengan rumusan rencana pengembangan e-government yang masih abstrak
tersebut, tampaknya masih banyak  perbedaan pemahaman diantara para pejabat
pemerintah sendiri. Rencana-rencana umum terkadang tidak disertai dengan rumusan
rencana teknis yang jelas. Ini berbeda dengan penerapan e-commerce yang biasanya
sudah disertai dengan rencana pengembangan teknis yang jelas, dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Tetapi kurang jelasnya konsep e-government itu dapat
dimaklumi karena cakupan tugas-tugas pemerintah yang sangat luas dengan kebutuhan
di masing-masing daerah yang beragam. 
Dalam pandangan umum, e-government sejauh ini masih dipahami sebatas
sebagai pembuatan situs web oleh organisasi pemerintah. Belum banyak yang
memahami secara luas bahwa tahap-tahap perkembangan pemanfaatan teknologi
informasi dalam organisasi publik itu bisa berbeda-beda mengikuti tuntutan kebutuhan
masyarakat yang semakin beragam. Secara umum, tahap pengembangan itu dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) tahap informatif, 2) tahap interaktif, dan 3) tahap transaktif.
Tahap informatif mengandung arti bahwa  pembukaan situs web oleh organisasi
pemerintah sebatas digunakan sebagai sarana penyampaian informasi tentang kegiatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar